Sabtu, 18 Februari 2012

Darah Istihadoh

Posted by Oliez On 20.24 No comments

Istihadhah berbeda dengan haidh. Perbedaan ini menuntut banyak hal. Terutama terkait dengan praktek ibadah. Pembahasan ringkas berikut insya Allah memberikan kemudahan untuk memahami apa sesungguhnya istihadhah itu

Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji (kemaluan) di luar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini diistilahkan dengan darah istihadhah. Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, istihadhah adalah darah yang mengalir dari farji wanita di luar waktunya dan berasal dari urat yang dinamakan ‘adzil (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 4/17).

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatinya dengan darah yang keluar dari farji wanita di luar kebiasaan bulanannya, disebabkan urat yang terputus. (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 3/57)

Keluarnya darah istihadhah ini merupakan hal yang lazim dijumpai para wanita. Bukan hanya di masa sekarang, namun sejak dulu dan dialami pula oleh para wanita dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menurut Al Imam Ash Shan`ani rahimahullah, jumlah shahabiyyah yang mengalami istihadhah di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencapai sepuluh orang, demikian menurut perhitungan ahlul ilmi, (Subulus Salam, 1/161). Bahkan ada yang menghitungnya lebih dari sepuluh.

Di antara mereka adalah Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Ia pernah datang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Wahai Rasulullah! Aku adalah seorang wanita yang ditimpa istihadhah maka aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”.(Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 333)

Bahkan di antara Ummul Mukminin (istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), ada pula yang ditimpa istihadhah seperti yang diberitakan Aisyah radliallahu anha:
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah i`tikaf bersama sebagian istrinya, (ada di antara mereka) yang sedang istihadhah dalam keadaan ia melihat keluarnya darah…” (HR. Al Bukhari no. 309, 310)

Ibnu ‘Abdil Barr t mengkisahkan, tiga orang putri Jahsyin semuanya mengalami istihadhah. Mereka adalah Zainab Ummul Mukminin, Hamnah istri Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Ummu Habibah istri ‘Abdurrahman bin Auf, semoga Allah meridhai mereka semuanya. (Syarah Muslim 1/23, Fathul Bari, 1/513)

Bahkan ada di antara shahabiyyah yang mengalami istihadhah selama bertahun-tahun, seperti dialami Ummu Habibah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia istihadhah selama 7 tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334.

Ada pula di antara mereka yang keluar darah istihadhah dengan deras dan sangat banyak seperti Hamnah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia pernah mengadukan keadaan dirinya:datang menemui Nabi
“Aku ditimpa istihadhah yang sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Keadaan Wanita yang Istihadhah

Keadaan pertama: Dia memiliki ‘adat (kebiasaan haidh) yang tertentu setiap bulannya sebelum ditimpa istihadhah. Ketika keluar darah dari farjinya, untuk membedakan apakah darah tersebut darah haidh atau darah istihadhah, kembali kepada kebiasaan haidhnya. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidhnya dan berlaku padanya hukum wanita haidh. Adapun di luar waktu itu bila masih keluar darah, berarti ia mengalami istihadhah dan berlaku pada dirinya hukum wanita suci (yakni suci dari haidh/ nifas).

Misalnya: seorang wanita ‘adatnya 6 hari di tiap awal bulan. Kemudian ia ditimpa istihadhah yang menyebabkan darah keluar terus menerus dari farjinya. Maka 6 hari di awal bulan itu dianggap haidh, selebihnya istihadhah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Fathimah menyangka, ia harus meninggalkan shalat karena istihadhah yang dialaminya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan tuntunan:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (HR. Al Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengatakan kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin x :
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no. 334)

Keadaan kedua: Ia tidak memiliki ‘adat tertentu sebelum ditimpa istihadhah ataupun ia lupa ‘adatnya, namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan darah haidh dengan istihadhah ia memakai cara tamyiz (mengenali sifat darah). Bila ia dapatkan bau tidak sedap dari darah yang keluar dan sifat-sifat lain yang ia kenali, berarti ia sedang haidh, selain dari itu berarti ia istihadhah.

Misalnya: seorang wanita keluar darah dari kemaluannya secara terus menerus, namun 10 hari yang awal darah yang keluar berwarna hitam selebihnya berwarna merah. Maka 10 hari yang awal itu dihitung haidh, selebihnya istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha:
“Apabila darah itu darah haidh, maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu, berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya, berwudhulah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani t dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)

Muncul permasalahan, bagaimana bila wanita yang istihadhah punya ‘adat haidh dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz)? Mana yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz ?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Al Imam Malik, Asy Syafi‘i dan satu riwayat dari Al Imam Ahmad berpendapat tamyiz didahulukan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Apabila darah itu darah haidh maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah”. (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)
Mereka juga beralasan tamyiz merupakan tanda yang jelas sekali, maka sepantasnya kembali kepadanya.

Adapun Abu Hanifah berpendapat ‘adat didahulukan. Pendapat ini dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berdalil sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no.334)

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh Ummu Habibah untuk melihat kebiasaan haidhnya, meski Ummu Habibah bisa saja membedakan darah tersebut. Namun ternyata beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak meminta perincian, misalnya dengan bertanya: “Apakah darah yang keluar itu warnanya berubah?”. Jadi jelaslah, bahwa `adat-lah yang dipegangi bukan tamyiz.

Pendapat terakhir ini yang lebih benar, kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, dengan alasan:
1. Hadits yang di dalamnya ada penyebutan tamyiz diperselisihkan keshahihannya.
2. Penetapan dengan ‘adat lebih meyakinkan bagi seorang wanita karena sifat darah itu terkadang
berubah atau keluarnya bergeser ke akhir bulan atau awal bulan atau terputus-putus sehari berwarna hitam, hari berikutnya berwarna merah. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/427)

Dengan demikian, bila seorang wanita ‘adatnya 5 hari, pada hari ke-4 dari masa haidhnya keluar darah berwarna merah seperti darah istihadhah, namun pada hari ke 5 kembali darahnya berwarna hitam, maka ia berpegang dengan ‘adatnya yang 5 hari sehingga hari ke-4 yang keluar darinya darah berwarna merah, tetap terhitung dalam masa haidhnya. Wallahu a‘lam.

Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaaan haidh (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darah. Sementara, darah keluar terus menerus dari farjinya dan sifat darah itu sama (tidak berubah) atau tidak jelas. Maka cara membedakannya dengan melihat kebiasaan umumnya wanita, yaitu menganggap dirinya haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Adapun selebihnya berarti istihadhah.

Misalnya: seorang wanita melihat pertama kali keluar darah dari vaginanya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah darah haidh atau bukan. Maka dia menganggap dirinya haidh selama 6 atau 7 hari dimulai hari Kamis. Hal ini berdasarkan sabda Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Hamnah:
“Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaitan, maka anggaplah dirimu haidh selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandilah, maka apabila engkau telah suci shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Al Imam Ash Shan‘ani rahimahullah berkata bahwa hadits ini menunjukkan, untuk menentukan haidh dengan yang selainnya, dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita. (Subulus Salam, 1/159)

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas: “Anggaplah dirimu haidh selama 6 atau 7 hari” bukanlah keraguan dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan 6 atau 7 hari–pent.) dan bukan pula disuruh memilih antara 6 atau 7 hari. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan demikian untuk mengajarkan bahwasanya kaum wanita memiliki dua `adat, di antara mereka ada yang haidh selama 6 hari dan ada yang 7 hari. Maka seorang wanita mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sebaya, dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam, 1/160)

Dan tentunya lebih pantas bagi wanita ini untuk melihat kerabatnya yang paling dekat seperti ibunya, saudara perempuannya, dan semisal mereka. Bukan kembalinya kepada kebiasaan umumnya wanita yang haidh, karena persamaan seorang wanita dengan kerabatnya lebih dekat daripada persamaannya dengan keumuman wanita. Demikian dikatakan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy Syarhul Mumti` (1/434).

0 komentar:

Posting Komentar